Pendahuluan
Konflik antara Iran dan Israel
bukanlah konflik biasa. Ia bukan sekadar persoalan batas wilayah atau sumber
daya alam. Ia adalah konflik yang melibatkan sejarah panjang, ideologi yang
sangat bertolak belakang, serta kepentingan geopolitik yang luas di kawasan
Timur Tengah. Dalam artikel ini, kita akan membedah akar-akar sejarah
permusuhan antara kedua negara tersebut, memahami dimensi ideologis yang
memperkeruh konflik, serta menelusuri kepentingan strategis yang membuat
perdamaian menjadi begitu sulit untuk dicapai.
Kata Kunci SEO: konflik Iran-Israel,
sejarah ketegangan Timur Tengah, ideologi politik Iran, kebijakan luar negeri
Israel, geopolitik Timur Tengah
1.
Latar Belakang Sejarah Hubungan Iran-Israel
1.1
Masa Pramodern dan Kesan Historis
Hubungan antara bangsa Persia (Iran)
dan Yahudi (Israel) memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan sebelum
berdirinya negara modern. Dalam sejarah Yahudi, Raja Koresh Agung dari Persia
adalah tokoh penting karena membebaskan bangsa Yahudi dari perbudakan Babilonia
dan memperbolehkan mereka kembali ke Yerusalem. Catatan ini banyak terdapat
dalam Kitab Ezra dan Nehemia.
Namun, hubungan historis yang sempat
bersifat positif ini tidak serta-merta menjadi dasar hubungan modern. Sejak
berdirinya negara Israel pada tahun 1948, dan terlebih lagi pasca Revolusi
Islam Iran 1979, hubungan kedua negara berubah drastis.
1.2
Hubungan Diplomatik Era Pra-Revolusi
Sebelum Revolusi Iran tahun 1979,
Iran di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi adalah salah satu sekutu diam-diam
Israel di kawasan Timur Tengah. Keduanya bekerja sama dalam berbagai bidang,
termasuk teknologi, pertanian, dan bahkan keamanan. Iran memasok minyak ke
Israel, dan Israel membantu Iran dalam bidang pertahanan dan intelijen.
Namun, hubungan ini berubah secara
drastis ketika Ayatollah Khomeini memimpin revolusi Islam dan menggulingkan
rezim Shah. Dalam pidato-pidato awalnya, Khomeini secara eksplisit menyebut
Israel sebagai "rezim Zionis" yang harus dihapuskan.
2. Ideologi Politik: Republik Islam vs Negara Yahudi
2.1
Visi Teokrasi Iran
Setelah Revolusi 1979, Iran menjadi
negara teokrasi yang dipimpin oleh ulama Syiah. Konsep utama dari negara ini
adalah Wilayah al-Faqih, di mana pemimpin tertinggi agama menjadi kepala
negara. Dalam visi ini, Iran melihat dirinya sebagai pelindung umat Islam,
khususnya kaum tertindas, termasuk warga Palestina.
Kebijakan luar negeri Iran sangat
dipengaruhi oleh ideologi ini. Oleh karena itu, permusuhan terhadap Israel
bukan hanya strategi geopolitik, tetapi juga bagian dari narasi ideologis—bahwa
Israel adalah penjajah, penindas, dan musuh utama Islam.
2.2
Nasionalisme Zionis dan Strategi Pertahanan Israel
Sebaliknya, Israel berdiri sebagai
negara Yahudi yang demokratis dengan ideologi Zionisme: keinginan untuk
mendirikan tanah air bagi bangsa Yahudi. Sejak awal berdirinya, Israel
menghadapi permusuhan dari banyak negara Arab di sekitarnya, dan mengembangkan
sistem pertahanan yang sangat kuat, termasuk kemampuan militer yang sangat
maju.
Israel memandang Iran sebagai
ancaman eksistensial. Khususnya karena pernyataan-pernyataan resmi dari para
pemimpin Iran yang secara terbuka menyerukan kehancuran Israel. Bagi Israel,
memiliki musuh dengan ambisi nuklir seperti Iran adalah mimpi buruk strategis.
3.
Kepentingan Regional yang Bertabrakan
3.1
Proxy War dan Perebutan Pengaruh
Salah satu aspek penting dalam
konflik Iran-Israel adalah perang proksi. Iran diketahui mendukung
berbagai kelompok bersenjata yang anti-Israel seperti Hizbullah di Lebanon,
Hamas di Gaza, dan milisi Syiah di Irak dan Suriah. Dukungan ini tidak hanya
berupa retorika, tetapi juga dana, pelatihan, dan senjata.
Israel, di sisi lain, melakukan
operasi militer rahasia maupun terbuka untuk menghambat pengaruh Iran.
Misalnya, serangan udara Israel terhadap konvoi senjata Iran di Suriah, atau
pembunuhan ilmuwan nuklir Iran yang diduga dilakukan oleh Mossad.
3.2
Politik Minyak dan Jalur Laut Strategis
Iran adalah salah satu pemain kunci
dalam pasar minyak dunia dan memiliki kendali atas Selat Hormuz, salah satu
jalur pelayaran minyak terpenting dunia. Sementara itu, Israel sedang membangun
aliansi dengan negara-negara Arab Teluk seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi
melalui Abraham Accords, yang secara tidak langsung menjadi blok kontra-Iran.
Kepentingan ini menjadikan kawasan
semakin kompleks. Setiap insiden di kawasan seperti Laut Merah, Teluk Oman,
atau perbatasan Lebanon-Israel bisa dengan mudah menjadi pemicu eskalasi.
4. Peran Negara Ketiga: AS, Rusia, dan China
4.1
Dukungan Amerika Serikat terhadap Israel
AS adalah sekutu utama Israel.
Bantuan militer, diplomasi, dan dukungan teknologi terus mengalir dari
Washington ke Tel Aviv. AS juga telah beberapa kali memblokir resolusi PBB yang
mengecam Israel, serta menjatuhkan sanksi keras terhadap Iran.
Bagi Iran, ini menjadi bukti bahwa
Israel hanyalah perpanjangan tangan dari imperialisme AS. Oleh karena itu,
retorika "kematian bagi Israel dan Amerika" menjadi slogan tetap
dalam demonstrasi di Teheran.
4.2
Rusia dan China: Penyeimbang Baru
Rusia dan China mulai mengambil
peran lebih aktif di kawasan. Rusia menjadi sekutu militer Iran dalam konflik
Suriah, sementara China menandatangani perjanjian investasi besar dengan Iran.
Kedua negara ini juga mendukung multipolaritas global dan menolak dominasi AS
di Timur Tengah.
Ini membuat peta konflik menjadi
lebih rumit. Iran kini tidak sepenuhnya terisolasi. Dan Israel pun menyadari
bahwa kekuatan besar lain juga ikut bermain dalam konflik ini.
5.
Upaya Diplomasi dan Kegagalannya
5.1
Perjanjian Nuklir (JCPOA)
Salah satu momen krusial dalam
sejarah hubungan Iran dengan dunia adalah penandatanganan perjanjian nuklir
tahun 2015, yang dikenal sebagai JCPOA. Perjanjian ini bertujuan untuk
membatasi kemampuan nuklir Iran sebagai imbalan atas pencabutan sanksi.
Namun, Israel menentang keras
perjanjian ini karena dianggap hanya menunda, bukan mencegah, ambisi nuklir
Iran. Ketika Donald Trump menarik AS keluar dari perjanjian ini pada 2018,
ketegangan meningkat kembali secara drastis.
5.2
Peran Negara-Negara Arab
Beberapa negara Arab telah
menormalisasi hubungan dengan Israel. Ini mengubah dinamika kawasan secara
signifikan. Iran melihat hal ini sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan
Palestina, sementara Israel melihatnya sebagai peluang untuk membentuk aliansi
anti-Iran.
6.
Narasi Media dan Propaganda
6.1
Media Iran
Media Iran secara konsisten
menggambarkan Israel sebagai penjajah, tidak sah, dan pelaku kekejaman terhadap
rakyat Palestina. Selain itu, media juga sering membesar-besarkan kekuatan
militer Hizbullah dan Hamas untuk menunjukkan bahwa poros perlawanan terhadap
Israel terus tumbuh.
6.2
Media Israel
Sebaliknya, media Israel
menggambarkan Iran sebagai sponsor utama terorisme dan musuh yang berbahaya. Publik
Israel dibombardir dengan informasi tentang rudal balistik Iran, fasilitas
nuklir bawah tanah, dan jaringan milisi proksi.
7. Masa Kini dan Potensi Ledakan
7.1
Ketegangan 2020-an
Beberapa tahun terakhir, konflik semakin
membara. Serangan siber, pembunuhan ilmuwan, ledakan misterius di fasilitas
nuklir, dan peluncuran drone bersenjata telah menjadi bagian dari perang
bayangan yang intens.
7.2
Risiko Perang Terbuka
Para analis memperingatkan bahwa
jika salah satu pihak terlalu agresif—misalnya, Israel menyerang langsung
fasilitas nuklir Iran—konflik bisa berubah menjadi perang regional besar,
bahkan mungkin memicu keterlibatan global.
Kesimpulan
Ketegangan antara Iran dan Israel
adalah hasil dari sejarah panjang, benturan ideologi, dan konflik kepentingan
yang dalam. Meskipun tampaknya tidak ada jalan keluar mudah, memahami akar-akar
konflik ini adalah langkah awal menuju solusi yang lebih damai dan stabil.